Selasa, 23 Februari 2016

Hidup Serba Terburu-buru

KINI, di jalan raya kita banyak yang berlindung di balik alasan buru-buru. Entah apa yang diburu.
Ketika belum lagi lampu berwarna hijau, banyak yang merangsek untuk maju ke paling depan di persimpangan jalan. Sampai-sampai hak pedestrian dirampas. Bahkan, langsung tancap gas menerobos lampu merah.
Saat panjangnya antrean, tak sedikit yang asyik melawan arus lalu lintas. Di bagian lain, menjarah trotoar, merampas hak pedestrian. Lalu, kita juga melihat keangkuhan pengendara yang mengambil jalur bus Trans Jakarta demi kepentingan pribadi.
Di jalan tol, bahu jalan dijadikan alternatif mendahului. Padahal, lajur itu untuk kondisi darurat seperti kendaraan yang berhenti karena mesinnya mogok. Atau, sebagai lajur mengevakuasi bila terjadi insiden di jalan tol.
Dalam keseharian lainnya kita mempertontonkan ketergesaan yang alasannya abstrak. Jargon buru-buru hanya alibi tanpa pijakan mendasar.
Pilihan makanan kita banyak menempatkan makanan siap saji sebagai idola. Lalu, dalam meraih ketenaran dan pundi-pundi lebih memilih jalan pintas ketimbang kerja keras. Bahkan, ada jargon, aturan dibuat untuk dilanggar. Jargon untuk menutupi keengganan bersabar antre atau mengikuti urutan yang ada termasuk untuk bekerja keras. Semua serba terburu-buru.
Adakah kita merenung sejenak bahwa ketergesaan yang ada hanya sia-sia? Misal, beralasan buru-buru lalu menjarah hak pedestrian di jalan raya. Buru-buru ingin tiba di kantor agar tidak telat masuk kerja. Padahal, setiba di kantor tak banyak hal produktif yang bisa langsung dikerjakan. Malah ada yang menghabiskan waktu bermediasosial yang bukan pekerjaan utama di kantor.
Dalam contoh lain, lantaran buru-buru justeru tragedi yang dipetik. Bisa saja berupa gesekan sosial sesama pengguna jalan. Tragedi terburuk ketika kecelakaan lalu lintas jalan hadir sebagai buah terburu-buru. Tak hanya kerugian material yang bakal dipikul. Dampak kecelakaan bisa melebar kemana-mana termasuk hilangnya produktifitas dan berurusan dengan masalah hukum.
Hidup serba buru-buru bisa berujung luas. Rasanya tak elok bila berdalih buru-buru lalu merampas hak orang lain. Rasanya tak pantas bila buru-buru menggadaikan keselamatan diri sendiri, orang lain, bahkan keluarga tercinta. Bila buru-buru bikin akal sehat dan nurani kita terbutakan di jalan raya, hanya soal waktu berjumpa sang jagal jalan raya.
Bila alasannya takut terlambat, berangkatlah lebih awal. Jika sudah pergi lebih dini tetap juga terlambat, prioritaskan keselamatan. Keluarga tercinta akan lebih kehilangan kita ketimbang perusahaan. Manajemen perusahaan akan dengan cepat menggantikan kita dengan sosok lainnya ketika kita dianggap tidak produktif. Sedangkan keluarga akan sulit memikul beban bila yang hilang adalah tiang ekonomi keluarga.
Rasanya menjadi elok bila lebih baik kehilangan waktu beberapa saat, ketimbang ‘hilang’ dalam sekejap. (edo rusyanto)

 

Hidup Adalah Masalah? Template by Ipietoon Cute Blog Design